22.9.12

Tiang makan lantai

Aroma iblis bersembunyi disudut bantal kita
Mengamati detak-detik jantung
Menunggu dengan hati yang terluka
Bila terlepas tangan olehmu,
dilahapnya jemari kita
Jari-jari kaki yang semakin empuk

Biar begitu berlari adalah mudah,
biar begitu jangan engkau pergi
Aku mencintaimu

Sketsel Indekos

Langit masih ragu menggambar wajahnya
menyembunyikan gedung-gedung bahkan matahari
menunjukkan keresahan penjual nasi

Matahari merambat pelan kearahku
Jilatlah, jilatlah: wajahku, pipiku, keningku, semua!
jilatlah, jilatlah jemuranku

Kemudian nasi ditumpahkan diatas loteng
bersamaan misteri hidupnya

Tumpah juga araknya
Mereka sembilan dengan segenggam stoki
melahap hari di atap kami, hingga kini

Bualan Rehat

Kutemukan dia
terasing dari kaumnya
Emas kulitnya
tak bekukan kelopak mata

Aku menari bersama ketam
Maju-mundurnya seirama
dengan lembaran kayu yang membiak
beterbangan bersama peluh yang harmoni

Apa artinya ketam?
Bila siku tidak bersamanya
Semakin tubuh tenggelam
semakin dekat panggilannya

Lalu jemariku lunglai
jadi tumbal ritual lama
Lembaran kayu membara
dibakar tajam lirikan matamu

Pada ekornya aku sadar
Bahwa cinta sudah melekat
di tanganku, di matamu,
di keriting lembaran kayu

Teh Susu Pagi

Aku lihat segelas teh susu yang muram
dengan kerendahan aku raih helai-helai asapnya
lalu berkaca pada bias neon yang putih
aku benar-benar iri
segelas teh susu hangat telah merangkulku
dan membuat aku mengidolakannya
dari wanginya aku belajar,
dari hangatnya maupun cokelatnya
sejatinya dia itu cita-cita