Di depan rumahku ada sepetak tanah kosong. Luasnya kira-kira
10 m x 30 m. Berdiri sepasang tiang karat di kedua sisi panjangnya. Di salah satu
tiang tersebut terdapat penggulung tali untuk net. Sedang di sisi lain berdiri tiang
lampu yang berwibawa. Lantainya adalah plesteran
dengan campuran 1PC:2PS yang sudah retak-retak
bahkan pecah-pecah dimakan kalender. Di sekitarnya tumbuh segar rumput-rumput liar,
pohon keres, juga pohon jati milik Brimob.
Bila
hujan mengangkat kakinya, maka 12 jam kemudian dia menjadi lautan bekicot. Di
akhir malam bekicot-bekicot itu adalah seorang kakek dengan dua kursi dan dua cangkir
kopi. Di ekor senja mereka adalah kami, anak-anak tawa. Meskipun diduga tempat itu
dulunya lapangan voli yang guyub, kami tidak pernah bermain bola voli disana. Kami
lebih suka bermain engkle, maling-malingan, boi-boian, bentengan dan lain-lain.
Permainan
yang paling kusukai adalah petak umpet. Karena apa aku tak tahu. Yang jelas ketika
bermain, aku seperti menjadi Timun mas yang harus lari dari Buto ijo. Tak jarang aku menyiapkan
serangan-serangan tipuan untuk mengelabuhi si Buto ijo. Lalu bila malam mulai kental,
kami duduk-duduk di kaki tiang karat sambil menikmati kerlip bintang di tubuh langit
yang membiru. Cerita- cerita aneh mulai diperdengarkan. Dari masalah sekolah sampai
masalah rumah. Kami benar-benar liar ketika itu.
Di suatu
malam yang cerah. Seperti
biasanya kami hendak bermain, tapi patok-patok
menancap mengelilingi rumah bermain kami ini.
“Lho
lho, apa ini?”
“O…
aku tahu, ini biji kecambah yang mulai tumbuh. Aku lihat yang seperti ini di
buku IPA”
“Iya
iya, mereka akan tumbuh tinggi untuk meneduhi lapangan ini, supaya kita juga bisa
main disini walaupun siang”
“Ah,
ngawur kamu, walaupun panas kan tiap minggu kita tetep main disini, ini pasti hadiah
dari Pak Brimob buat kita”
“Memangnya
kenapa Pak Brimob memberi kita hadiah?”
“Apa
ya… hm… apa ya… mungkin karena kita sering mengambili daun jati miliknya untuk mainan!”
“Lho
ya jelas tambah marah to Pak Brimobnya kalau begitu”
Begitulah seterusnya malam itu tidak berawal dengan permainan
dan berakhir dengan cerita-cerita aneh, tapi penuh dengan kebingungan kami yang
polos. Bahkan pria tua yang biasa duduk-duduk di lapangan dengan sepasang kursi
dan sepasang cangkir kopi tidak tampak malam itu.
Hari-hari
berikutnya semakin aneh saja, lubang-lubang dimana-mana, bapak-bapak dengan kerudung
yang membawa ember-ember, tumpukan pasir, dan batu bata. Kami semakin resah saja. Dan dalam keresahan itu kami semakin cuek, tak peduli
dengan nasib rumah bermain kami yang digusur paksa penguasa. Sering terbayang
olehku tawa pembesar-pembesar Brimob yang bangga menyambut penggusuran ini,
rasanya seperti kejutan di hari ulang tahun. Aku bingung harus memilih yang
mana. Sedih menjadi anak-anak atau bangga sebagai warga asrama.
Di suatu sore menjelang malam yang
mulai haus dengan gelitik tawa kami. Aku sedang di beranda rumah, menunggu
untuk kesekian kalinya sahabat-sahabatku lewat mengajak aku kerumahnya,
merencanakan dan meracik bom tawa untuk malam ini. Aku baru tersadar, kami
telah lama meninggalkan majelis seperti itu. Telah lama kami terlena dalam
alunan palu bapak-bapak berkerudung yang riang bermain dirumah bermain kami
untuk rumah bermain Brimob.
Ayam
Mbah warung melintas dengan tenang. Aneh, biasanya dia tak bisa sedamai itu jam
segini. Dia harus panik kejar-kejaran
dengan kami, sampai malam tiba dan
akhirnya kami berdamai dengannya. Tapi senja kali ini benar-benar sepi,
cuma aku dan keringat bapak-bapak berkerudung yang mengering. Melihat sepinya
aku merasa mendapat kesempatan. Rasanya aku bisa menikmati lagi malam-malam
kemarin walau hanya dalam ingatan.
Tanpa
panjang pikir aku jejakkan kakiku menuju lubang-lubang yang dibuat bapak
kerudung. Pelan-pelan aku lihat ke dalam salah satu lubangnya. Dalam sekali,
aku seperti melihat lorong-lorong lembab yang berujung WC sekolah. Ya Tuhan,
bahkan pesingnya terasa sampai ke senja yang seharusnya damai ini. Dari dalam gelapnya muncul banyak
tangan yang mencakar-cakar suara tangis. Mereka berdua seperti berperang dalam
gelap. Sementara wajah para petinggi Brimob-yang menempel di kardus-kardus air
mineral-yang mengalir sepoi-sepoi di tenggorokan bapak berkerudung pink-tertawa
sambil memperbaiki kumisnya yang miring kekiri.
Malam
mulai merangkak ke punggung pohon jati. Tampak siluet laki-laki yang menyeret
masuk dua kursi, kembali ke rumahnya lalu datang lagi dengan dua cangkir kopi.
Aku tidak bisa apa-apa, bahkan bernapaspun aku sulit. Udara di sekelilingku
sepertinya mulai lebih banyak terisi wewangian dupa dan kembang dari pada
oksigen. Suara gong dan gamelan turut mengantarku pada suasana yang membangunkan
kuduk. Kuduk yang datang setiap kali dia datang.
Pak
Widodo namanya, seorang pensiunan polisi. Beliau adalah ketua RT kami. Dialah
yang setiap malam duduk-duduk dengan dua cangkir kopi di rumah bermain kami.
Aneh memang, kata orang-orang dia punya
perewangan. Itu sebabnya ia bisa sukses menjadi polisi teladan selama 10
tahun berturut-turut. Selain itu, anak perempuannya yang semata wayang itu bisa
punya swalayan dimana-mana dengan karyawan yang jumlahnya mencapai 3 digit. Ia
tampaknya senang melihatku. Ia melambaikan tangannya. Ada apa ini? Aku gugup.
“Kemarilah
nak!” katanya ringan
Aku
hampiri dia dengan bimbang, dengan tanda tanya yang selama ini aku simpan
untuknya. Ketika aku hendak duduk, tiba-tiba.
“Eiit!
Jangan duduki kursi itu bocah. Di teras rumahku ada kursi serupa, bawa kemari,
duduklah di kursi itu”
Astaga, aku semakin
takut dengan pria ini. Entah ada apa di kursi itu jangan-jangan kabar tentang
perewangannya itu benar. Setelah aku ambil kursi dari terasnya, dia letakkan
cangkir kopinya di kolong kursi.
“Bagaimana nak, bagimana rasanya?”
“Maaf, rasanya apa ya pak?”
“Jangan kamu sembunyikan, saya sudah
tau apa yang terjadi pada kalian. Saya bisa tua seperti ini juga karena pernah
jadi anak-anak. Saya tau kalau bermain itu menyenangkan, tertawa itu renyah,
ah... apa lagi jika bersama teman-teman yang selalu setia bersama saya. Rasanya
pasti menyedihkan ya?”
Aku hanya diam sambil sesekali
mengelap keringat di jidatku yang deras mengucur seperti dikejar perewangan Pak
Widodo. Biarpun
aku diam, dia tampak biasa saja. Sepertinya dia memang terbiasa dengan sikap
anak-anak yang seperti ini. Maklum Pak Widodo yang juga Aiptu Widodo ini
bertubuh tinggi dan kekar, rambutnya yang putih hampir tak ada itu terlihat
ngeri dengan komposisi keriput di pipi dan jidatnya. Ditambah kumis yang
terlalu tebal itu mirip pisang, pisang
berbulu.
“Ingat nak, air
mata ada agar ia bisa membasahi pipi yang gersang, bukan pipi yang becek. Bahkan pipi yang
gersang bisa saja terlihat becek”
Malam berjalan lambat sekali, semalam bersama Pak
Widodo rasanya seperti duduk dalam kelas dengan celana yang basah. Sampai mengering
dan aku pulang sebelum Ibu menjemput.
Dua
bulan berikutnya tak ada lagi lapangan terbuka di depan rumahku. Rumah bermain
kami yang menyenangkan itu telah menjadi lapangan tembak. Lapangan yang
dikelilingi tembok-tembok tinggi. Batu-batu besar menempel di dindingnya,
kayu-kayu bulat yang pasrah diperkosa peluru-peluru yang sesat. Dan dentuman
senjata setiap hari senin, rabu dan jumat. Aku tak tahu kenapa orang-orang
justru malah bangga dengan bisingnya. Desah para anggota Brimob yang asik
bermasturbasi dengan pistol-pistol mereka di lapangan bermain mereka itu justru
membuat aku semakin muak. Sial, semakin banyak saja masalahku.
Hari itu jumat. Rasanya sesak sekali,
bahkan paginya terlalu berisik untuk menjadi pagi. Aku yang masih tak tahu apa arti
ucapan Pak Widodo malam itu, dipaksa menelan kabar tak sedap ini. Seluruh penjuru
asrama menunduk hari itu. Bukan karena kami yang dua bulan ini hampir tak bicara.
Atau bapak-bapak kerudung yang pergi karena berhasil menghabiskan kardus air
mineral bergambar petinggi Brimob. Atau juga karena kokok ayam Mbah warung yang
semakin lantang dan sombong. Tapi karena kabar yang tak dinyana-nyana ini akhirnya
datang dari banyak cerita.
Pak
Widodo, beliau menanggalkan nyawanya malam itu. Menurut pemeriksaan dokter ,dia
kerasukan angin duduk karena semalaman begadang di dekat WC umum RT II.
Kabarnya malam itu ia tidak membuat dua cangkir kopi hangat, dan berangkat kesamping
WC umum dengan satu kursi. Dia juga mengenakan batik lawasnya, batik yang
dipakainya saat pernikahan putrinya.
Hitam-hitam
penuhi RT kami, bunga-bunga, kendi dan setampah makanan yang ditata mirip sesajen,
serta seekor ayam cemani hitam berwajah tua-membawa pagi itu ke seberang matahari.
Ayat-ayat Tuhan dibunyikan dengan ketukan yang lambat tapi hikmat.
“Laillahailallah…
Laillahailallah… Laillahailallah… Laillahailallah…”
Aku
mengurung diri dalam kamar untuk menghindari bau kembang dan suara-suara suci itu.
Aku benar-benar tak tahu apa yang terjadi pada batinku. Aku belum bisa menerima
kepergian teman-temanku, rumah bermainku yang telah menjadi lapangan tembak,
pesan Pak Widodo malam itu. Semuanya menjadi satu dalam pejam mataku yang
semakin sesak.
“Kukuruyuukk…
Laillahailallah… Laillahailallah… Dor! Dor! Hahahaha… Laillahailallah…
Kukuruyuukk… Dor! Hahahaha… Dor! Laillahailallah… Dor! Hahahaha… Dor! Dor! Dor!
Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!” (24.10.12)