3.11.12

Nyanyian Luka di Awal Senja


Di depan rumahku ada sepetak tanah kosong. Luasnya kira-kira 10 m x 30 m. Berdiri sepasang tiang karat di kedua sisi panjangnya. Di salah satu tiang tersebut terdapat penggulung tali untuk net. Sedang di sisi lain berdiri tiang lampu  yang berwibawa. Lantainya adalah plesteran dengan campuran 1PC:2PS yang  sudah retak-retak bahkan pecah-pecah dimakan kalender. Di  sekitarnya tumbuh segar rumput-rumput liar, pohon keres, juga pohon jati milik Brimob.
            Bila hujan mengangkat kakinya, maka 12 jam kemudian dia menjadi lautan bekicot. Di akhir malam bekicot-bekicot itu adalah seorang kakek dengan dua kursi dan dua cangkir kopi. Di ekor senja mereka adalah kami, anak-anak tawa. Meskipun diduga tempat itu dulunya lapangan voli yang guyub, kami  tidak pernah bermain bola voli disana. Kami lebih suka bermain engkle, maling-malingan, boi-boian, bentengan dan lain-lain.
            Permainan yang paling kusukai adalah petak umpet. Karena apa aku tak tahu. Yang jelas ketika bermain, aku seperti menjadi Timun mas yang  harus lari dari Buto ijo. Tak jarang aku menyiapkan serangan-serangan tipuan untuk mengelabuhi si Buto ijo. Lalu bila malam mulai kental, kami duduk-duduk di kaki tiang karat sambil menikmati kerlip bintang di tubuh langit yang membiru. Cerita- cerita aneh mulai diperdengarkan. Dari masalah sekolah sampai masalah rumah. Kami benar-benar liar ketika itu.
            Di suatu malam yang cerah. Seperti biasanya kami hendak bermain,  tapi patok-patok menancap mengelilingi rumah bermain kami ini.
            “Lho lho, apa ini?”
            “O… aku tahu, ini biji kecambah yang mulai tumbuh. Aku lihat yang seperti ini di buku IPA”
            “Iya iya, mereka akan tumbuh tinggi untuk meneduhi lapangan ini, supaya kita juga bisa main disini walaupun siang
            “Ah, ngawur kamu, walaupun panas kan tiap minggu kita tetep main disini, ini pasti hadiah dari Pak Brimob buat kita”
            “Memangnya kenapa Pak Brimob memberi kita hadiah?”
            “Apa ya… hm… apa ya… mungkin karena kita sering mengambili daun jati miliknya untuk mainan!”
            “Lho ya jelas tambah marah to Pak Brimobnya kalau begitu”
Begitulah seterusnya malam itu tidak berawal dengan permainan dan berakhir dengan cerita-cerita aneh, tapi penuh dengan kebingungan kami yang polos. Bahkan pria tua yang biasa duduk-duduk di lapangan dengan sepasang kursi dan sepasang cangkir kopi tidak tampak malam itu.
            Hari-hari berikutnya semakin aneh saja, lubang-lubang dimana-mana, bapak-bapak dengan kerudung yang membawa ember-ember, tumpukan pasir, dan batu bata. Kami semakin resah saja. Dan dalam keresahan itu kami semakin cuek, tak peduli dengan nasib rumah bermain kami yang digusur paksa penguasa. Sering terbayang olehku tawa pembesar-pembesar Brimob yang bangga menyambut penggusuran ini, rasanya seperti kejutan di hari ulang tahun. Aku bingung harus memilih yang mana. Sedih menjadi anak-anak atau bangga sebagai warga asrama.
            Di suatu sore menjelang malam yang mulai haus dengan gelitik tawa kami. Aku sedang di beranda rumah, menunggu untuk kesekian kalinya sahabat-sahabatku lewat mengajak aku kerumahnya, merencanakan dan meracik bom tawa untuk malam ini. Aku baru tersadar, kami telah lama meninggalkan majelis seperti itu. Telah lama kami terlena dalam alunan palu bapak-bapak berkerudung yang riang bermain dirumah bermain kami untuk rumah bermain Brimob.
Ayam Mbah warung melintas dengan tenang. Aneh, biasanya dia tak bisa sedamai itu jam segini. Dia harus panik  kejar-kejaran dengan kami, sampai malam tiba dan  akhirnya kami berdamai dengannya. Tapi senja kali ini benar-benar sepi, cuma aku dan keringat bapak-bapak berkerudung yang mengering. Melihat sepinya aku merasa mendapat kesempatan. Rasanya aku bisa menikmati lagi malam-malam kemarin walau hanya dalam ingatan.
Tanpa panjang pikir aku jejakkan kakiku menuju lubang-lubang yang dibuat bapak kerudung. Pelan-pelan aku lihat ke dalam salah satu lubangnya. Dalam sekali, aku seperti melihat lorong-lorong lembab yang berujung WC sekolah. Ya Tuhan, bahkan pesingnya terasa sampai ke senja yang seharusnya damai ini. Dari dalam gelapnya muncul banyak tangan yang mencakar-cakar suara tangis. Mereka berdua seperti berperang dalam gelap. Sementara wajah para petinggi Brimob-yang menempel di kardus-kardus air mineral-yang mengalir sepoi-sepoi di tenggorokan bapak berkerudung pink-tertawa sambil memperbaiki kumisnya yang miring kekiri.
Malam mulai merangkak ke punggung pohon jati. Tampak siluet laki-laki yang menyeret masuk dua kursi, kembali ke rumahnya lalu datang lagi dengan dua cangkir kopi. Aku tidak bisa apa-apa, bahkan bernapaspun aku sulit. Udara di sekelilingku sepertinya mulai lebih banyak terisi wewangian dupa dan kembang dari pada oksigen. Suara gong dan gamelan turut mengantarku pada suasana yang membangunkan kuduk. Kuduk yang datang setiap kali dia datang.
Pak Widodo namanya, seorang pensiunan polisi. Beliau adalah ketua RT kami. Dialah yang setiap malam duduk-duduk dengan dua cangkir kopi di rumah bermain kami. Aneh memang, kata orang-orang dia punya   perewangan. Itu sebabnya ia bisa sukses menjadi polisi teladan selama 10 tahun berturut-turut. Selain itu, anak perempuannya yang semata wayang itu bisa punya swalayan dimana-mana dengan karyawan yang jumlahnya mencapai 3 digit. Ia tampaknya senang melihatku. Ia melambaikan tangannya. Ada apa ini? Aku gugup.
“Kemarilah nak!” katanya ringan
Aku hampiri dia dengan bimbang, dengan tanda tanya yang selama ini aku simpan untuknya. Ketika aku hendak duduk, tiba-tiba.
“Eiit! Jangan duduki kursi itu bocah. Di teras rumahku ada kursi serupa, bawa kemari, duduklah di kursi itu”
Astaga, aku semakin takut dengan pria ini. Entah ada apa di kursi itu jangan-jangan kabar tentang perewangannya itu benar. Setelah aku ambil kursi dari terasnya, dia letakkan cangkir kopinya di kolong kursi.
            “Bagaimana nak, bagimana rasanya?”
            “Maaf, rasanya apa ya pak?”
            “Jangan kamu sembunyikan, saya sudah tau apa yang terjadi pada kalian. Saya bisa tua seperti ini juga karena pernah jadi anak-anak. Saya tau kalau bermain itu menyenangkan, tertawa itu renyah, ah... apa lagi jika bersama teman-teman yang selalu setia bersama saya. Rasanya pasti menyedihkan ya?”
            Aku hanya diam sambil sesekali mengelap keringat di jidatku yang deras mengucur seperti dikejar perewangan Pak Widodo. Biarpun aku diam, dia tampak biasa saja. Sepertinya dia memang terbiasa dengan sikap anak-anak yang seperti ini. Maklum Pak Widodo yang juga Aiptu Widodo ini bertubuh tinggi dan kekar, rambutnya yang putih hampir tak ada itu terlihat ngeri dengan komposisi keriput di pipi dan jidatnya. Ditambah kumis yang terlalu tebal itu  mirip pisang, pisang berbulu.
            “Ingat nak, air mata ada agar ia bisa membasahi pipi yang gersang, bukan pipi yang becek. Bahkan pipi yang gersang bisa saja terlihat becek
Malam berjalan lambat sekali, semalam bersama Pak Widodo rasanya seperti duduk dalam kelas dengan celana yang basah. Sampai mengering dan aku pulang sebelum Ibu menjemput.
            Dua bulan berikutnya tak ada lagi lapangan terbuka di depan rumahku. Rumah bermain kami yang menyenangkan itu telah menjadi lapangan tembak. Lapangan yang dikelilingi tembok-tembok tinggi. Batu-batu besar menempel di dindingnya, kayu-kayu bulat yang pasrah diperkosa peluru-peluru yang sesat. Dan dentuman senjata setiap hari senin, rabu dan jumat. Aku tak tahu kenapa orang-orang justru malah bangga dengan bisingnya. Desah para anggota Brimob yang asik bermasturbasi dengan pistol-pistol mereka di lapangan bermain mereka itu justru membuat aku semakin muak. Sial, semakin banyak saja masalahku.
Hari itu jumat. Rasanya sesak sekali, bahkan paginya terlalu berisik untuk menjadi pagi. Aku yang masih tak tahu apa arti ucapan Pak Widodo malam itu, dipaksa menelan kabar tak sedap ini. Seluruh penjuru asrama menunduk hari itu. Bukan karena kami yang dua bulan ini hampir tak bicara. Atau bapak-bapak kerudung yang pergi karena berhasil menghabiskan kardus air mineral bergambar petinggi Brimob. Atau juga karena kokok ayam Mbah warung yang semakin lantang dan sombong. Tapi karena kabar yang tak dinyana-nyana ini akhirnya datang dari banyak cerita.
            Pak Widodo, beliau menanggalkan nyawanya malam itu. Menurut pemeriksaan dokter ,dia kerasukan angin duduk karena semalaman begadang di dekat WC umum RT II. Kabarnya malam itu ia tidak membuat dua cangkir kopi hangat, dan berangkat kesamping WC umum dengan satu kursi. Dia juga mengenakan batik lawasnya, batik yang dipakainya saat pernikahan putrinya.
            Hitam-hitam penuhi RT kami, bunga-bunga, kendi dan setampah makanan yang ditata mirip sesajen, serta seekor ayam cemani hitam berwajah tua-membawa pagi itu ke seberang matahari. Ayat-ayat Tuhan dibunyikan dengan ketukan yang lambat tapi hikmat.
            “Laillahailallah… Laillahailallah… Laillahailallah… Laillahailallah…”
            Aku mengurung diri dalam kamar untuk menghindari bau kembang dan suara-suara suci itu. Aku benar-benar tak tahu apa yang terjadi pada batinku. Aku belum bisa menerima kepergian teman-temanku, rumah bermainku yang telah menjadi lapangan tembak, pesan Pak Widodo malam itu. Semuanya menjadi satu dalam pejam mataku yang semakin sesak.
            “Kukuruyuukk… Laillahailallah… Laillahailallah… Dor! Dor! Hahahaha… Laillahailallah… Kukuruyuukk… Dor! Hahahaha… Dor! Laillahailallah… Dor! Hahahaha… Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!” (24.10.12)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar