5.8.12

naskah monolog (coba-coba bikin)


Monolog
Sikat Gigi Buat Nenek
Gigih Sadewo

(tiang gantungan, seorang pria dengan pakaian compang-camping menyeret tali gantungan, lelah, lalu bersandar di bawah tiang gantungan)

Sejak Nenek menggunakan gigi emas, orang-orang hampir tak mengenalnya. Cara berjalannya berubah, pakaiannya, gayanya. Ia terlihat lebih terawat. Tak sia-sia aku membantu beliau.

(berdiri) Oh, iya! Perkenalkan, aku Trimo, orang yang setiap pagi mengantarkan sikat gigi kepada Nenek. Tapi itu dulu, ia sudah tidak membutuhkan aku lagi sekarang. Sekarang ia lebih suka berkumur dengan air yang mengalir di belakang rumahnya yang baru. Rumah yang susah payah kami rebut dari pesulap-pesulap pasar yang tak tampak di siang hari.

(menunduk, bersembunyi dibalik tiang gantungan) Psstt !! hati-hati, mereka ada di sekitar sini. Jika mereka menemukan aku, tamatlah aku. Mereka lebih sadis dari bayi berusia 5 bulan.

Nenek pasti sudah ditelannya, kalau saja aku tidak segera pulang sore itu. Waktu itu aku mencarikan sikat gigi sampai ke seberang sungai. Nenek sendirian di gubuk kami. Matanya terpejam, mulutnya komat-kamit. Tak ada sedikit cahaya pun yang masuk ke gubuk karena Nenek menutup semua lubang. Tetapi tiba-tiba pesulap itu ada di kolong dipan Nenek. Diangkatnya Nenek seperti boneka beruang berbulu wol. Lalu di arahkan kemulutnya, dan… Gubraak!! Aku terjang pintu gubuk kami, tetapi hanya ada Nenek yang tergulai di lantai. Hanya dua kata yang beliau ucapkan, sikat gigi.

(memasang tali gantungan) Entah apa yang Nenek lakukan dengan sikat gigi-sikat gigi itu di kolong dipan. Aku tak pernah tau.Ia hanya berkata bahwa hal ini untuk kesejahteraan dan kebahagiaan kami.

(naik ke tiang gantungan) Kebahagiaan kita?!! Kuantarkan sikat gigi padamu setiap pagi meski orang-orang menatap dengan alis berbisik. Kutumpahkan cahaya ke kulit pesulap-pesulap itu, kulakukan apapun agar kau miliki gigi emas itu supaya kau bisa mendengkur di rumah itu. Lalu kau berkumur dengan air belakang rumahmu. Sementara aku?!! Aku masih saja mogok di tengah antrean panjang gelandangan pasar. Bahkan kau robohkan gubuk kita dengan gonggongan anjing-anjingmu. Aku sekarang tak ubahnya sukun goreng yang siap dilahap sang waktu. (lemas, SUARA: seratus tujuh puluh dua!) giliranku tiba, Arrggh!!

(lelaki yang tergantung)

300312

Tidak ada komentar:

Posting Komentar